RESUME
BUKU “ TEORI PUBLIC RELATIONS PERSPEKTIF BARAT DAN LOKAL : APLIKASI PENELITIAN
DAN PRAKTIK”
Sebagai
salah satu syarat memenuhi mata kuliah teori public relations (A.KOM.4)
Karina
Hajar Aprilia
155120200111041
JURUSAN
ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
MALANG
2017
A. TEORI SISTEM
Teori sistem diadopsi
dari Biologi yang digagas oleh Ludwig von Bertalanffy pada tahun 1940-1950an.
Dalam ranah biologi, Bertalanffy mengatakan bahwa pentingnya saling
keterhubungan antara semua elemen tubuh. Teori sistem ini juga tidak terlepas
dari pemikiran George Hegel, Karl Marx, dan Charles Darwin (Littlejohn dalam
Kriyantono, 2014 h.77). Teori sistem ini kemudian banyak diadopsi oleh pakar
dari berbagai ilmu sehingga menjadi teori yang interdisipliner. Teori sistem
memberikan pemahaman bahwa bagaimana kualitas suatu fungsi yang dijalankan oleh
setiap sistem dalam suatu relasi dinamis dengan sistem sistem yang lainnya.
Teori sistem ini berkaitan erat dengan pentingnya menjalin suatu hubungan
sosial . Jika kita dapat menjalin suatu hubungan yang baik maka itulah
merupakan hasil (output) dari suatu interaksi sosial, dalam pembahasan ini
yaitu interaksi antara organisasi dengan publiknya.
Dalam sebuah organisasi
jika prinsip ini diterapkan maka, organisasi merupakan salah satu bagian
(subsistem) dari suatu sistem sosial yang lebih kompleks. Keduanya saling
berhubungan, saling tergantung, dan memengaruhi satu sama lain. Organisasi
seharusnya dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Dalam
ilmu komunikasi , teori sistem ini diyakini sebagai teori yang fundamental atau
metateori bagi public relations (Greenwood dalam Kriyantono, 2010. h. 78),
teori ini termasuk sebagai akar dari teori dominan dalam kajian public
relations, yaitu teori excellence. Meskipun
teori sistem sangat penting dalam kajian public relations, namun banyak dari
akademisi publicrelations tidak membahas dalam jurnal ilmiah.
KOMUNIKASI SEBAGAI
PEREKAT SISTEM
Organisasi merupakan
suatu sistem yang didalamnya terdapat hubungan antara masing masing
komponennya. Sistem yang berada diluar suatu sistem yang lain disebut
lingkungan. Hubungan dan interaksi antar bagian subsistem dalam suatu sistem
dan antara sistem dan sistem yang lain (dengan lingkungannya) memungkinkan
terjadinya pertukaran input dan output. Sebagai suatu sistem, organisasi
memiliki karakteristik yang dimiliki setiap sistem sosial (Kriyantono, 2014.
h.79)
a.
Keseluruhan dan Saling bergantung
(wholeness and Interdependence)
Organisasi
saling berhubungan dan tidak dapat dipahami secara terpisah. Kegagalan yang
dilakukan oleh fungsi public relations akan memengaruhi bagian yang lain.
b. Hierarki
(hierarchy)
Suatu
sistem merupakan bagian dari sistem lainnya yang lebih besar. Siftanya yang
hierarki membuat sistem dilengkapi struktur dan pembagian kerja yang jelas,
baik vertikal, horizontal, maupun diagonal.
c.
Peraturan senar tdiri dan kontrol (self
regulation and control)
Dalam
aktivitasnya sistem diarahkan untuk mencapi tujuan tertentu dalam bentuk
peraturan.
d.
Pertukaran dengan Lingkungan
(interchange with the environment)
Sistem
berinteraksi dengan lingkungannya. Setiap sistem dapat memengaruhi dan
dipengaruhi oleh lingkungannya. Interaksi ini akan menghasilkan proses
pertukaran input dan output.
e.
Keseimbangan (balance)
Keseimbangan
dapat dicapai apabila sistem dapat berfungsi dengan baik. Sistem yang dapat
berfungsi dengan baik disebut homeostatis atau ekuilibrium.
f.
Perubahan dan Kemampuan adaptasi (Change
and Adaptability)
Untuk
mencapai keseimbangan, sistem harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungannya.
g.
Sama tujuan (equifinality)
Sistem
memiliki tujuan yang sama dalam mewujudkan bentuk visi misi yang mengarahkan
perilaku setiap anggota organisasi.
PUBLIC RELATIONS
SEBAGAI SUBSISTEM DALAM ORGANISASI
Dalam lingkup public relations teori
sistem ini digunakan senagai dasar menjalin hubungan dengan publiknya. Kajian
public relations berdasarkan teori sistem pertama kali dibangun oleh James
Grunig (Grunig & Hunt, 1984; Gruning L., Grunig J, & Ehling, 2008). Teori
sistem menganggap bahwa aktivitas organisasi mengakibatkan konsekuensi (dampak)
bagi publiknya. Sebaliknya, tindakan publik sebagai respons terhadap aktivitas
organisasi juga menimbulkan konsekuensi tertentu bagi organisasi. Konsekuensi
ini disebut dengan “resiprocal consequences”, yaitu munculnya masalah saat
berhubungan dengan publik (Grunig & Hunt, 1986 h.6 dalam Kriyantono, 2014).
Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah itu maka organisasi membutuhkan
subsistem public relations yang dapat menjalin komunikasi antara organisasi dan
publik.
Peran PR Dalam Menjalin
Hubungan
Teori sistem memandang
bahwa komunikasi yang dilakukan public relations terjadi dalam suatu sistem
saling terhubung dan saling pengaruh. Praktisi PR memegang peran yang penting
dalam organisasi terutama pada aktivitas menjalin dan merekatkan hubungan
antarsubsistem. Menurut Lattimore, dkk. (2007 dalam Kriyantono, 2014 h.
83)terdapat 2 peran yang diharapkan dilakukan secara terus menerus oleh pihak
Public Relations, yaitu :
1) Peran
teknis : hal hal yang menyangkut pekerjaan teknis seperti menulis, press
release, newsletter, fotografi, membuat
produksi audiovisual dan menggelar event.
2) Peran
Manajerial : berkaitan dengan aktivitas yang membantu menejemen
B.
BOUNDARY
SPANNING
Dalam aktivitas
organisasi tidak jarang terjadi ketegangan hubungan dengan publik internal
maupun dengan antar organisasi dengan publik eksternalnya. Misalnya saja kasus
demonstrasi para karyawan yang menolah suatu kebijkana dari perusahaannya.
Melalui pendekatan teori sistem, tejadinya hal tersebut dapat disebabkan oleh :
a) Tersumbatnya
saluran komunikasi
Misalnya saja terdapat masalah antara
perusahaan dengan karyawannya maka seorang public relations disini harus
membuka saluran komunikasi yang memungkinkan karyawan tersebut dapat
menyampaikan unek unek-nya. Jika
karyawan tersebut malu untuk mengungkapkan secara langsung, seorang praktisi PR
dapat memberikan fasilitas seperti kotak opini atau e-mail.
b) Pr
gagal memosisikan sebagai “dominant-coalition”
Dominant
coalition atau koalisi dominan ialah mereka yang memiliki
pengaruh besar dalam pengambilan keputusan. Seorang praktisi PR harus mempu
memosisikan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya, berkharisma, dan
dianggap sebagai orang yang dapat mewakili. Sehingga jika terjadi masalah dapat
langsung bertukar pikiran langsung kepada PR.
c) Hubungan
media yang kurang baik
Kualitas liputan berita media sangat dipengaruhi
oleh kualitas hubungan media (Kriyantono, 2012a). Jika media merasa bahwa suatu
organisasi tertutup, tidak menghargai media, atau tidak mau bekerjasama, maka
berita berita negatif sulit dicegah.
Dalam
interaksi dengan lingkungannya, seorang PR dalam organisasi memiliki fungsi
sebagai penghubung antara organisasi dan lingkungannya. Fungsi ini dokenal
dengan istilah “Boundary Spanning”. Dengan fungsi ini, PR dapat memonitoring,
seleksi, dan menghimpun informasi dengan lingkungannya. Hal ini juga merupakan salah satu upaya
pencegahan dini untuk meminimalkan atau menghindari masalah. Semakin aktif
seorang PR dalam menjalankan fungsinya sebagai gatekeeper lingkungannya, dan
jika ketidakpastian informasi pada lingkungannya semakin tinggi, maka semakin
besar juga peluang seorang PR turut andil dalam mengambil keputusan. Aktivitas boundary spanning yang dilakukan seorang
PR antara lain :
·
Menjelaskan informasi tentang organisasi
kepada publik (lingkungannya)
·
Memonitor lingkungannya sehingga
mengetaui apa yang terjadi dan menginterpretasi isu isu yang potensial
memengaruhi aktivitas organisasi dan membantu manajemen merespons isu isu
tersebut.
·
Membangun komunikasi dua arah dengan
publiknya agar organisasi mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
Agar
dapat menjalankan aktivitas boundary
spanning, seorang PR mesti menjadi bagian dari dominant coalition. Departemen Public Relations harus memiliki
jalur komando langsung ke manajemen puncak, sehingga informasi dan masukan
masukan yang disampaikan praktisi PR mesti bersifat tidak dibatasi, tidak
disensor, dan tidak dikurangi.
C.
TEORI
RELATIONSHIP MANAGEMENT
Teori ini fokus
membahas proses memanajemen relasi antara organisasi dan publiknya, internal
maupun eksternal, karena teori ini juga dikenal sebagai pusat atau inti public
relations (Ledingham, 2005; Botan & Hazleton, 2006). Teori ini dikenal
sebagai teori Organization-public
relationship (OPR) (Ledingham, 2003 & 2005; Phillips, 2006; Waters,
2008). OPR ini berangkat dari Paradigma co-creational
yang menganggap komunikasi digunakan untuk menstimuli publik untuk bersama
sama menciptakan makna (co-creator meaning) dan menekankan membangun relasi
dengan semua pihak.
Didasarkan paradigma co-creational (bisa disebut
konstruktivis), teori Relationship
Management menganggap manajemen relasi yaitu fungsi sentral public relations. Komunikasi ditempatkan
sebagai alat untuk membangun relasi dan program dievaluasi berdasarkan
dampaknya pada relasi antara organisasi dan publik. Oleh karena itu
keberhasilan program ditentukan oleh kualitas OPR-nya. Dalam proses relasi
terdapat pertukaran persepsi, atribut, dan identitas yang berbeda, dan antara
organisasi dan publik dimungkinkan saling memengaruhi. Tetapi proses pertukaran
ini tetap diimbangu semangat empati , kesepahaman, dan berusaha saling
menguntungkan.
Terdapat 10 prinsip
dara manajemen relasi (Ledingham, 2005 dalam Kriyantono, 2014. h. 278) yaitu :
1. Fokus
utama PR yaitu membangun relasi
2. Relasi
yang berhasil jika didasarkan upaya meraih keuntungan bagi kedua pihak,
organisasi dan publik
3. Organization-public relationship
bersifat dinamis sehingga berubah setiap saat
4. Relasi
didorong oleh kebutuhan dan keinginan dari organisasi dan publik.
5. Manajemen
OPR yang efektif akan meningkatkan pemahaman dan keuntungan bagi organisasi dan
publik.
6. Keberhasilan
OPR diukur berdasarkan kualitas relasi
7. Komunikasi
yaitu alat strategi manajemen relasi
8. OPR
dipengaruhi oleh sejarah relasi, sifat interaksi, frekuensi pertukaran, dan
resiprositas (timbal balik)
9. OPR
dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis, yaitu : relasi personal, relasi
profesional, dan relasi komunitas
10. Penciptaan
relasi dapat terjadi dalam berbagi aspek kajian dan praktik PR
D. TEORI MATEMATIKA KOMUNIKASI
Informasi
merupakan salah satu unsur dasar proses komunikasi. Tetapi dalam masyarakat
pada umumnya mendefinisikan arti informasi dalam dua kelompok, yaitu:
Yang
pertama, mendefinisikan informasi sebagai hasil proses komunikasi berupa fakta
atau data. Kedua, mendefinisikan
informasi sebagai makna data atau simbol atau pesan. Jika pada pengertian
pertama informasi dianggap sebagai kumpulan fakta atau data, makn pada
pengertian kedua ini informasi dianggap berbeda dengan data.
TEORI
DAN MODEL INFORMASI KOMUNIKASI
Teori ini digagas oleh ahli
matematika yang bekerja di perusahaan telepon Bell, yaitu Claude Shannon dan
Warren Weaver. Keduanya membuat model ini dan dipublikasikan dalam buku The Mathematical Theory of Communication pada 1949 dan buku ini dipublikasikan pada
1964. Model ini disebut juga sebagai model komunikasi Shannon-Weaver. Teori ini
menggambarkan proses komunikasi antarmanusia sebagai proses transmisi yang
linier antara komunikator kepada komunikan. Di model ini, Shannon dan Weaver
mengenalkan beberapa konsep yang saling berkaitan, yaitu konsep gangguan
(noise), transmitter, sumber (source), signal, receiver, destination, entropi,
dan informasi.
Gambar
. model teori matematika shannon-weaver
Sumber
: Weaver, 1949:7
Model diatas menjelaskan komponen
komunikasi ketiga, yaitu Channel/saluran.
Channel diartikan sebagai medium atau saluran bagi perjalanan pesan. Sinyal
yang ditransmisikan ke transmitter akan melewati channel sehingga pesan yang berwujud sinyal dapat diterima oleh
receiver. Receiver yaitu alat untuk menerima sinyal (received signal) yang
dikirim sumber informasi. Kemudian
sinyal tersebut pesan yang mudah dipahami oleh penerima pesa, yang disebut destination. Dalam perjalanannya, pesan
mungkin saja mengalami gangguan (noise). Noise diartikan sebagai segala sesuatu
yang mengganggu (interface) penerima saat menerima pesan.
Teori informasi (Matematikan Komunikasi)
menyebutkan tidak ada yang dinamakan pesan yang senyatanya (real message),
tetapi yang ada hanya sinyal. Sinyal ini ditangkap oleh receiver, dan kemampuan untuk memaknainya (decode) berbeda antara individu. Dalam proses model komunikasi ini
terdapat juga noise. Noise dapat berupa fisik (mekanis),
psikologis, semantik, ekologis, sosiokultural, dan kapasitas saluran (channel).
Gangguan gangguan tersebut menyebabkan kesalahan persepsi terhadap makna pesan
dan akan memengaruhi kualitas informasi pada peserta komunikasi, akibat sinyal
yang diterima receiver berbeda dengan yang dimaksudkan sumber.
Konsep noise menyebabkan munculnya
konsep Entropy. Entropy diartikan
sebagai situasi ketidakpastian, situasi yang tidak jelas, situasi yang tidak
teratur atau meragukan. Dalam situasi entropy seperti ini, orang membutuhkan
sesuatu yang dapat mengurangi ketidakpastian. Sesuatu yang digunakan untuk
mengurangi ketidakpsatian inilah yang disebut dengan informasi. Lawan dari
entropi ini adalah negentropy, yaitu
situasi yang dapat dengan mudah diprediksi.
INFORMASI
: ALTERNATIF PILIHAN
Informasi memiliki beberapa
karakteristik, yaitu :
·
Untuk memperoleh informasi, dibutuhkan
paling sedikit dua alternatif pilihan
·
Informasi bersifat memilih atau seleksi
alternatif
·
Semakin seseorang berada dalam
ketidakpastian atau keragu raguan
·
Kualitas informasi sangat ditentukan
oleh nilai kebenaran yang dikandungnya.
Ketika
teori informasi ini mulai diterapkan dalam proses komunikasi antarmanusia kedua
konsep tersebut (noise dan entropi) dihubungkan dengan tersedia atau tidaknya
sejumlah alternatif pilihan untuk mengurangi ketidakpastian (Sendjaja, 1998).
Ketidakpastian akan memicu munculnya berbagai alternatif pilihan kemungkinan,
yang tiada lain yaitu informasi itu sendiri. Misalnya saja ketika berbicara
dengan teman namun karena terlalu pelan maka kita tidak dapat mendengar dengan
baik dan merasa tidak pasti pada ucapannya. Saat itulah muncul alternatif
pilihan tentang kemungkinan yang dibicarakan teman. Untuk mendapat kepastian,
dapat dilakukan dengan cara mengurangi ketidakpastian dengan meminta mengulangi
ucapannya tadi. Upaya bertanya atau mengurangi sejumlah alternatif pilihan ini
disebut juga redudancy.
TEORI INFORMASI (MATEMATIKA
KOMUNIKASI) DALAM PRAKTIK PR
Teori informasi dari
Shannon & Weaver ini dapat diterapkan untuk mengukur gangguan atau hambatan
yang terjadi dalam proses komunikasi antara organisasi dan publiknya. Berbagai
gangguan ini dapat menyebabkan kesalahan persepsi atau miscommunication sehingga pesan yang disampaikan PR ternyata
dipersepsi berbeda oleh publiknya. Public Relations juga dapat melakukan
penelitian kredibilitas sumber informasi, yaitu mengukur bagaimana persepsi
publik terhadap kredibilitas pihak manajemen dan bagaimana pengaruhnya terhadap
kualitas informasi yang disampaikan.
Upaya PR sebagai agen informasi juga perlu
memperhatikan bagaimana menyediakan informasi yang berkualitas. Dari penjelasan
Sendjaja (1998), dapat disimpulkan bahwa informasi yang berkualitas yaitu
memenuhi syarat sebagi berikut :
·
Mampu memenuhi aspek kebutuhan informasi
dari publik
·
Informasi berkualitas jika berguna
(useful), bernilai (valuable), faktual, dapat dipercaya (reliable), ketepatan
(precision), dan kebenarannya (truth).
Contoh
yang sering terjadi terkait dengan teori informasi yaitu fenomena munculnya
rumor saat terjadi krisis yang menimpa organisasi. Dalam buku Public Relations dan Crisis Management
(2012c), dituliskan bahwa kegagalan dalam mengontrol aliran informasi dapat
menimbulkan ketidakpastian, kekhawatiran, dan kepanikan dalam diri publik.
Akibatnya, publik akan mencari sumber informasi dari berbagai sumber informasi
dari sumber informasi yang bukan berasal dari organisasi.
E.
TEORI
UNCERTAINTY REDUCTION
Teori
ini diciptakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese pada tahun 1975 ini
menjelaskan bagaimana anda menggunakan komunikasi untuk mengurangi keragu
raguan, memahami orang lain dan diri anda, dan membuat prediksi tentang
perilaku orang lain ketika berinteraksi
dengan orang lain saat pertama bertemu. Ketidakpastian diartikan sebagai
ketidakmampuan individu untuk memprediksi atau menjelaskan perilakunya dan
perilaku orang lain.
Dalam
buku ini, teori ini diaplikasikan dalam konteks individu merasa ketidakpastian
saat menghadapi situasi asing sehingga ia membutuhkan informasi untuk
mengurangi ketidakpastian tersebut, bukan di antara individu melainkan juga
individu dengan organisasi. Komunikasi merupakan alat untuk mengurangi
ketidakpastian, setidaknya ada dua peran komunikasi. Pertama, komunikasi digunakan untuk mendapatkan informasi tentang
lawan bicara , karena anda cenderung tidak pasti tentang orang tersebut,
misalnya tidak pasti dengan apa yang dia rasakan atau motif orang tersebut. Kedua,komunikasi digunakan untuk membuat
prediksi atau penjelasan tentang makna perilaku lawan bicara.
Level
Pengurangan Ketidak pastian
Upaya untuk mencari informasi
merupakan upaya mengurangi ketidakpastian, sehingga semakin tidak pasti maka
semakin tinggi upaya mengurangi ketidakpastian dan semakin banyak informasi
yang dibutuhkan. Informasi ada dua jenis yaitu, verbal dan nonverbal. Keduanya
saling memengaruhi dalam proses mengurangi ketidakpastian. Littlejohn &
Foss (2008) mengatakan pada situasi yang ketidakpastiannya tinggi, semakin anda
tergantung pada data yang tersedia bagi anda dalam situasi itu. Dalam keadaan
seperti itu biasanya menjadi lebih sadar (conscious) dan berhati hati (mindful)
terhadap yang anda lakukan. Dapat disimpulkan bahwa level ketidakpastian
dtentukan oleh level homofili antara peserta komunikasi. Homofili sebagai lawan
dari heterofili, yaitu situasi dimana banyaknya kesamaan yang dirasakan oleh
kedua belah pihak peserta komunikasi. Jika kita dapat menemukan kesamaan dengan
lawan bicara maka kita bisa menjadi saling akrab.
Dalam buku ini dijelaskan terdapat
dua jenis ketidakpastian menurut Berger dan Bradag (1982, dikutip di Dainton
& Zelley, 2005 : 36; Knoblock, 2009:976, West and Turner, 2007 : 166),
yaitu : pertama, ketidakpastian perilaku (Behavioral Uncertainty): berkaitan dengan ketidakpastian perilaku
mana yang seharusnya seseorang lakukan dalam suatu situasi. Kedua,ketidakpastian kognisi (cognitive uncertainty): berkaitan
dengan ketidakpastian tentang apa yang mesti dipikirkan tentang sesuatu atau
orang lain.
Berdasarkan pendapat Berger (1979,
dikutip di Flanagin, 2007 ; Hammer, dkk., 1998) ada beberapa cara yang biasa
digunakan seseorang untuk mengurangi ketidakpastiannya, yaitu :
a. Strategi
pasif (social comparison) : situasi ini terjadi jika seseorang hanya mengamati
perilaku orang lain.
b. Strategi
aktif (seeking information) : jika seseorang secara aktif mencari informasi
tentang orang lain melalui pihak ketiga, misalnya bertanya kepada si A tentang
si B
c. Strategi
Interaktif (verbal interrogative) : cara mendapatkan informasi melalui setting
interaksi , yaitu dengan secara langsung bertanya dengan orang yang menjadi
target komunikan.
Aksioma
Teori Uncertainty Reduction
Berger & Calabrese (1975),
menjelaskan aksioma teori ini, sebagai berikut :
§ Hubungan
ketidakpastian dengan komunikasi verbal : jika pesan verbal seseorang dan lawan
bicara meningkat, maka level ketidakpastian lawan bicara anda akan menurun.
§ Hubungan
ketidakpastian dengan komunikasi nonverbal : jika ekspresi nonverbal pada saat
awal pembicaraan meningkat, akan menyebabkan ketidakpastian menurun.
§ Hubungan
ketidakpastian dengan pencarian informasi : seseorang akan meningkatkan upaya
pencarian informasi jika ketidakpastian semakin tinggi.
§ Hubungan
ketidakpastian dengan keakraban (keintiman) : pada interaksi yang mengandung ketidakpastian
tinggi, maka keakraban komunikasinya pun rendah
§ Hubungan
ketidakpastian dengan resiprositas : semakin tinggi merasa ketidakpastiannya
maka semakin tinggi pula seseorang menggunakan strategi komunikasi timbal
balik.
§ Hubungan
ketidakpastian denga persepsi akan kesamaan dan ketidaksamaan : semakin
memiliki persamaan semakin berkurang ketidakpastiannya.
§ Hubungan
ketidakpastian dengan perasaan suka : perasaan saling menyukai akan meningkat
jika ketidakpastian berkurang.
Teori
Uncertainty Reduction Dalam Praktik PR
Karl Weick (Griffin , 2003: 262)
menyamakan kegiatan berorganisasi sebagai “kegiatan memproses informasi di mana
informasi merupakan bahan mentah yang diolah oleh proses organisasi. Ketercukupan
informasi akan terwujud bila PR menyediakan saluran komunikasi yang terbuka (open communication) dan memungkinkan
terjadinya komunikasi dua arah yang timbal balik. Diharapkan melalui kondisi
yang seperti ini dapat saling mengenal antar organisasi dan publiknya serta
tidak ada lagi ketidakpastian dan kesimpangsiuran informasi. Heath (2005)
menyarankan praktisi PR untuk meminimalkan ketidakpastian dengan menerapkan
strategi komunikasi seperti berikut :
§ Mengumumkan
berbagai perubahan sedini mungkin bagi semua publik yang mungkin merasakan
dampak perubahan
§ Memfasilitasi
partisipasi staf dalam proses pengambilan keputusan untuk menyelesaikan suatu
masalah, misalnya dengan mengadakan diskusi
§ Menjaga
agar aliran informasi terjadwal dengan baik (jangan sampai terlambat memberi
informasi)
§ Jika
tidak dapat menyediakan informasi dengan baik , PR harus memberikan penjelasan
alasannya
§ PR
harus menjelaskan segala kebijakan atau keputusan yang diambil manajemen
§ Selalu
menjaga kepercayan publik terhadap organisai.
F.
TEORI
EXCELLENCE
Model
Public Relations
model
ini diperkenalkan oleh Grunig dan Hunt dalam buku Managing Public Relations (1984). Model ini juga disebut sebagai
tipe proses kegiatan public relations. Keempat model tersebut : Press Agentry,
Public Information, Two-way Asymmetric, dan two-way Symmetric.
1. Model
Press Agentry/Publisitas
Jika praktisi Public
Relations menerapkan model ini, berarti proses diseminasi informasi bergerak
satu arah (one-way communication)
dari organisasi kepada publiknya. Pada dasarnya Press Agentry ini merupakan kegiatan publisitas, yaitu upaya meraih
perhatian dan liputan media. Dalam model ini juga dikenal “pseudo event”, yaitu
suatu event yang dirancang hanya untuk meraih publisitas. Karena itu, dituntut
kemampuan praktisi public relations mengelola event yang mengandung nilai
berita bagi media. Sebagai upaya meraih publisitasmedia, model ini diterapkan
dalam berbagai cara sehingga model ini sering disalahgunakan.
2. Model
Public Information
Model ini bersifat satu arah atau one-way
communication. Perbedaan model ini dengan press agentry adalah pada model ini
penyebaran informasi yang dilakukan bukan untuk promosi atau publisitas media
melainkan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan publik. Tujuan model ini
yaitu membangun kepercayaan publik melalui komunikasi satu arah dengan
memberikan informasi kepada publik, tetapi tidak mementingkan persuasif untuk
mengubah sikap (Grunig & Hunt, 1984)
3. Model
Two-Way Asymmetric
Model ini berbeda dari model sebelumnya, pada model
ini telah memperhatikan umpan balik publik. Tetapi, model Two-Way Asymmetric
ini lebih mengarahkan strategi komunikasi organisasi untuk memengaruhi publik beradaptasi
dengan organisasi bukan sebaliknya. Praktisi PR dalam model ini dapat membantu
organisasi memersuasi publik agar berpikir dan bertindak seperti yang
dikehendaki organisasi. Jadi, pada model ini tujuannya lebih untuk menguatkan
pengaruh organisasi dan untuk mendorong publik agar menerima strategi
organisasi.
4. Model
Two-Way Symmetric
Pada model ini bersifat
dua arah. Model ini mengutamakan dialog secara penuh dengan publiknya serta
fokus pada upaya membangun hubungan dan pemahaman bersama, bukan berupaya untuk
memersuasi publik dengan berbagai cara.
Organisasi tidak hanya menerima umpan balik dari publiknya, tetapi juga
merespons secara positif dengan mengupayakan bersama. Dalam model ini, PR
memainkan perannya secara bersama sama yaitu “satu kaki di pihak manajemen,
satu kaki di pihak publik”.
Karakter organisasi dalam model
Asymmetric dan Symmetric
Menurut
Grunig (1989 : 32 -33; 38 – 39) dan Grunig &White (1992:43 -44). Model
asymmetric biasanya terjadi pada organisasi yang mempunyai karakteristik :
a. Berorientasi
internal : anggota hanya memandang realitas dari kacamata organisasi tidak pada
publik.
b. Sistem
tertutup : tidak membuka diri pada informasi dari luar organisasi
c. Menganggap
efisiensi dan kontrrol atas segala biaya lebih penting daripada kebutuhan akan
inovasi.
d. Bersifat
elitisme : Pengambilan keputusan ditentukan hanya oleh pimpinan organisasi
e. Konservatif
: cenderung menolak perubahan
f. Bersifat
kewenangan terpusat
Sementara itu, model symmetric biasanya terjadi pada
organisasi yang mempunyai karakter :
a. Interdependen
: organisasi merasa bagian dari lingkungannya
b. Sistem
terbuka : organisasi membuka diri untuk pertukaran informasi dengan
lingkungannya.
c. Bergerak
menuju ekuilibrium
d. Memiliki
sifat kesederajatan/kesetaraan tinggi
e. Memberikan
otonomi kepada anggota organisasi untuk kreatif dan inovatif dalam bekerja
f. Lebih
mengedepankan inovasi daripada fokus pada tradisi dan kebiasaan
g. Desentralisasi
manajemen : cenderung berbagi kewenangan
h. Setiap
anggota organisasi mesti menyadari konsekuensi dari setiap tindakannya dan
berusaha mengurangi konsekuensi negatif dari tindakannya bagi orang lain.
i.
Setiap konflik mesti ditangani melalui
komunikasi
Pendekatan Strategis dan Dialogis
Dalam
pendekatan strategis, publik diperlakukan sebagai penerima yang pasif
(passive-receiver) dari pesan pesan yang disampaikan organisasi. Pada sisi yang
berlainan, pendekatan dialogis, publik diberi kesempatan luas untuk secara
aktif dan setara berpartisipasi di dalam dialog dengan organisasi.
Teori
Dialogis Public Relations
Dialog
adalah inti dari standar etis praktik PR. Publik akan merasa melalui dialog
perusahaan telah berkeinginan membangun sistem komunikasi yang menjembatani
perusahaan dengan publik. Public Relations dialogis merupakan suatu produk dari
proses komunikasi dan relasi yang dibangun secara terus menerus. Melalui proses
dialog, organisasi dan publik dimungkinkan mengubah kualitas hubungan. Kent
& Taylor (2002) mendeskripsikan prinsip dasar dalam melaksanakan konsep
dialogis public relations, yaitu :
a. Mutualitas
: memiliki perasaan yang sama dan berbagi dengan orang lain. Partisipan
seharusnya bisa merasa bebas berdiskusi, meskipun dimungkinkan terdapat
perbedaan status sosial diantara peserta dialog.
b. Propinquity
: berkaitan dengan kedekatan dalam jarak, waktu, atau hubungan antara
organisasi dan publiknya. Menekankan pada pentingnya organisasi untuk
memberikan informasi tentang kebijakan yang relevan.
c. Empaty
: dapat dicapai jika organisasi memberikan dukungan untuk terjadinya iklim yang
mendorong komunikasi dua arah yang resiprokal. Terdapat tiga faktor komunikasi
empati, yaitu : dukungan (supportiveness), orientasi komunal (communal
orientation), konfirmasi (confirmastion)
d. Risiko
dan komitmen : dialog juga dapat menimbulkan konflik , sehingga seharusnya
dialog berangkat dari komitmen masing masing peserta untuk mencapai hasil yang
saling menguntungkan
Teori
Excellence in Public Relations
Teori yang merupakan
pengembangan dari empat model public relations dan teori situational of the
public, teori ini lebih menekankan aspek negosiasi dan kompromi. Teori excellence menganggap
public relations bukan lagi sekedar berperan sebagai alat persuasif atau
sebagai teknisi komunikasi untuk menyebarluaskan komunikasi. Teori ini menunjukkan bahwa
public relations berkontribusi dalam membangun hubungan yang baik dengan
lingkungannya. Dan kualitas public relations dapat diukur dengan cara
mengevaluasi kualitas hubungan antara organisasi dan publiknya yaitu serial
terus-menerus yang secara perlahan membuat kedua pihak terintegrasikan sehingga
sulit menentukan titik awal dan akhir hubungan.
Agar dapat
menghasilkan proses public relations yang excellence, teori ini memberikan 10
premis atau prinsip excellence atau factor excellence. Premis yang merupakan
hasil dari penelitian terhadap 327 organisasi di tiga negara yang kemudian
hasilnya dianalisis menggunakan teori komunikasi, public relations, manajemen,
psikologi organisasi, sosiologi organisasi, psikologi social, psikologi
kognisis, feminism, ilmu politik, pembuatan keputusan dan budaya (Grunig, dkk.,
2008). Artinya, teori excellence dan
model symmetric merupakan hasil membuat unifikasi teori. 10 premis tersebut
yaitu:
a)
Organisasi mesti melibatkan aktivitas public
relations dalam fungsi strategis manajemen. Yang setiap pengambilan keputusan
mesti mempertimbangkan perspektif public relations agar menghasilkan kebijakan
yang mencerminkan kualitas hubungan dengan public.
b)
Public relations mesti mendapat akses langsung
ke dalam kelompok dominan dan dapat langsung berkomunikasi dengan manajer
senior.
c)
Organisasi mesti mempunyai fungsi public
relations yang terintegrasi ke dalam satu departemen sendiri.
d) Public relations
yaitu fungsi manajemen yang terpisah dari fungsi manajemen lain.
e)
Manajer public relations haruslah seorang yang
bercirikan ‘manajer komunikasi,’ bukan ‘teknisi komunikasi’ (managerial).
f)
Mengadopsi model two-way symmetric sebagai basis
utama menjalin relasi public.
g)
System komunikasi internal bersifat two-way
symmetric, berupa desentralisasi struktur yang menjamin otonomi antarbagian,
ada dialog 2 arah, dan memberi peluang anggota organisasi terlibat dalam
mekanisme pengambilan keputusan.
h)
Fungsi public relations model symmetric, peran
manajerial, pelatihan akademik public relations, dan profesionalitas dilakukan
dengan berdasarkan ilmu pengetahuan yang memadai tentang bagaimana peran
manajerial dalam system symmetric.
i)
Adanya diversitas peran dalam menjalankan fungsi
public relations.
j)
Dalam menjalankan fungsinya, praktisi public
relations harus mengutamakan kode etik dan integritas profesi.
Poin a, b, c, f merupakan inti dari kesepuluh premis
di atas (Dozier, dkk., 1995). Teori excellence memberikan perhatian besar
terhadap dimensi etis menjalin relasi. Dimensi etis merupakan salah satu dari 4
dimensi yang membedakan 4 model public relations. Dan dimensi lainnya yaitu
arah komunikasi, satu arah atau dua arah; tujuan komunikasi, simetris (dua
pihak) atau asimetris (lebih menguntungkan pihak organisasi); dan slauran
komunikasi: interpersonal atau bermedia.
G. TEORI
CONTINGENCY OF ACCOMODATION IN PUBLIC RELATIONS
Teori contingency of accomodation in public
relations (CA) berkembang sebagai kritik atas model two-way symmetric dalam
teori excellence in public relations. Menurut penggagasnya Cameron, dkk. Teori
CA adalah modifikasi dan pelengkap dari teori normatif (teori excellence). CA
dianggap merupakan potret yang lebih realistis dari strategi PR atau model PR.
Praktik PR bergerak pada suatu kontinum antara advokasi total (murni) bagi
organisasi atau klien dan akomodasi total (murni) bagi publiknya.
Akomodasi yaitu
situasi ketika praktisi public relations berupaya memenuhi kebutuhan organisasi
dan publiknya melalui dialog, negosiasi, dan kompromi. Advokasi yaitu situasi
ketika praktisi PR berusaha memenuhi kebutuhan organisasi atau publik dengan
cara mengurangi atau meniadakan kebutuhan pihak lainnya. Teori CA mengatakan bahwa win-win solutions
yang ditawarkan model two way symmetric tidak selamanya merupakan kondisi ideal
bagi organisasi, bahkan sulit untuk mencapainya. Teori ini secara umum
menjelaskan bahwa hubungan organisasi dan publiknya tidak dapat benar benar
mencapai posisi two-way symmetric`
Perbedaan teori ini
dengan teori excellence sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda. Perbedaannya
terletak pada pemaknaan apakah model two-way symmetric masih dapat diterapkan
ataukah tidak. Teori CA pembahasannya lebih menegaskan pada batasan batasan
tentang posisi organisasi saat menjalin relasi dengan publiknya serta
menganggap model symmetric sulit diterapkan karena pada kenyataannya relasi
publik terjadi dalam kondisi public relations memilih antara bersikap akomodasi
dengan publik atau bersikap advokasi.
Kontingensi
: Akomodasi dan Advokasi
Akomodasi dapat
diartikan sebagai penyesuaian diri terhadap lingkungan, mencakup kemampuan
untuk berkolaborasi dengan pihak lain. Advokasi dapat diartikan sebagai upaya
memberikan dukungan dan pembelaan terhadap kebijakan organisasi, jadi seorang
PR layaknya penasihat hukum membela kliennya. Dikatakan kontingensi karena
antara bersikap akomodasi dan advokasi, seorang PR di pengaruhi oleh
faktor-faktor kemungkinan sehingga bersifat situasional. Seorang PR harus
menyeimbangkan antara akomodasi dan advokasi, karena jika PR lebih fokus
melakukan advokasi maka dapat dikatakan bahwa seorang PR telah melakukan proses
memanipulasi publik.
Variabel
Teori Contingency of Accommodation
Seperti yang telah dipaparkan
pada penjelasan sebelumnya, bahwa teori CA ini menekankan bahwa sikap atau
posisi seorang PR sangat dinamis dan tergantung pada perubahan situasi yang
terjadi (menurut Cameron dikutip dalam Kriyantono, 2014, h.122). Perubahan
situasi ini ditentukan oleh variable internal dan eksternal yang memengaruhi
organisasi. Berikut beberapa hal yang termasuk kedalam variable eksternal dan
variabale internal :
Ø Variabel Eksternal
1. Ancaman-ancaman (threats)
2. Lingkungan industry (industry environment)
3. Level ketidakpastian
kondisi social politik atau perubahan budaya eksternal
4. Publik eksternal
(individu, kelompok)
5. Isu yang
dipertanyakan
Ø Variabel Eksternal
1. Karakteristik
organisasi
2. Karakteristik
departemen Public Relations
3. Karakteristik koalisi
dominan (top management)
4. Ancaman Internal
(internal threats)
5. Karakteristik
individual (praktisi public relations, koalisi dominan, line managers)
6. Karakteristik
hubungan
Cancel, dkk. (1999)
mengembangkan dua variabel untuk melengkapi teori CA yaitu (Kriyantono, 2014,
h. 126) :
a) Variabel Presdiposing
menurut Cancel, dkk. (1999); Raber & Cameron (2003), adalah variable yang
memiliki pengaruh besar pada organisasi dengan membantu membentuk kecenderungan
bersikap dan menjalin relasi terhadap publik eksternal. Variabel presdiposing
antara lain :
-
Ukuran organisasi
-
Budaya organisasi
-
Terpaan bisnis
-
Afiliasi atau akses dengan kelompok dominan
b) Variabel Situasional
yaitu situasi yang spesifik dan berubah secara dinamis selama interaksi yang
melibatkan organisasi dan publiknya. Situasi berperan dalam perubahan sikap dan
pendirian organisasi dalam menghadapi publiknya. Variabel situasional antara
lain :
-
Ancaman, seperti pemberitaan negative di media,
intervensi pemerintah, persoalan hokum (litigasi)
-
Biaya dan keuntungan akomodasi
-
Keseimbangan kepentingan antara berbagai publik
-
Persepsi publik terhadap isu
-
Reputasi organisasi
-
Karakteristik publik eksternal dan
tuntutan-tuntutannya.
H. SITUATIONAL
THEORY OF THE PUBLICS
Teori situational of the oublics
(STP) ini bermanfaat untuk mengidentifikasi publik sehingga dapat membuat
kategori publik berdasarkan perilaku komunikasi dari individu dan efek
komunikasi yang diterima individu tersebut. Teori ini membantu PR untuk membuat
target sasaran yang lebih spesifik, sehingga pesan komunikasinya benar benar
sesuai dengan kebutuhan sasarannya itu. penggagas teori ini ialah James E.
Grunig, seorang profesor PR dari
University of Marryland, Amerika Serikat. Secara umum,teori ini mendeskripsikan
sikap dan perilaku komunikasi dari publik terhadap organisasi. Teori ini dapat
digunakan praktisi PR untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan publik
berdasarkan persepsi, sikap, dan perilaku publik terhadap organisasi, baik
terhadap programnya, produknya, maupun ketika terjadi suatu krisis. Menurut
Grunig (1979:741), teori situasional of
the publics (STP) mempunyai beberapa asumsi dasar, yaitu :
§ Persepsi
seseorang pada suatu situasi akan menentukan kapan dia merespons, mengapa dia
merespons, bagaimana cara dia merespons dan mengkomunikasikan situasi tersebut.
§ Individu
yang berbeda diasumsikan mempunyai perilaku yang lebih konsisten
§ Setiap
individu akan berusaha beradaptasi dengan suatu situasi dalam cara tertentu
§ Publik yang
bersifat situasional tergantung pada situasi yang dihadapi. Untuk isu tertentu
seseorang secara aktif mencari informasi tetapi untuk isu yang lain dia memilih
pasif, hal ini tergantung pada seberapa besar isu mempengaruhi kepentingannya.
§ Karena
bersifat situasional, masalah atau isu bersifat dinamis, maka publik pun
bersifat dinamis.
Tipe
Tipe Publik
Dalam teori STP ini, Grunig membagi seluruhvpopulasi menjadi
dua kategori, yaitu “publik dan stakeholder”. Grunig mengartikan “publik”
sebagai kelompok khusus yang anggota anggotanya mempunyai alasan yang sama
untuk tertarik dalam aktivitas dan perilaku organisasi. Grunig membangun teori
ini berdasarkan ide dari Dewey tentang evolusi perkembangan publik. Menurut
Dewey, publik mengalami perkembangan berdasarkan tiga aspek, yaitu : aspek
munculnya masalah, aspek kesadaran akan masalah, dan aspek bentuk bentuk
respons terhadap masalah itu. Ada tiga macam tipe publik (Grunig, 1979) :
a. Publik
tersembunyi (latent public) adalah
sekelompok orang yang sebenarnya mempunyai permasalahan yang sama, tetapi tidak
dapat mengidentifikasi atau menyadari permasalahan itu sehingga mereka tidak
memberikan respons.
b. Publik
teridentifikasi (aware public) adalah
bentuk perkembangan dari latent public, yaitu jika kelompok itu
kemudian menyadari dan dapat mengidentifikasi suatu permasalahan (isu) maka
kelompok itu berkembang menjadi “aware
public”. Pada tahap ini “kecenderungan untuk komplain, protes, atau
mendukung sudah mulai mucul” (Mackey, 2009:55)
c. Publik aktif
(active public) adalah sekelompok
orang yang mendiskusikan dan merespons permasalahan itu dengan mengeluarkan
opini atau melakukan aksi-aksi tertentu. Menurut Mackey (2009:55) teori ini
juga “mengidentifikasi seseorang, disebut bukan publik organisasi (nonpublik)
jika dia merasa tidak khawatir dengan aktivitas organisasi”.
Variabel
Perilaku Komunikasi Dan Persepsi Situasional
Karena teori
ini menjelaskan persepsi, sikap, serta perilaku komunikasi dari publik, menurut
Grunig (1979) teori ini terdiri dari dua variabel pokok, yaitu variabel
perilaku komunikasi dan variabel persepsi terhadap suatu situasi.
1.
Variabel Independen : Persepsi Situasional
Variabel ini
merupakan variabel persepsi publik terhadap suatu situasi (situational
perception). Variabel ini menjelaskan satu atau lebih variabel dependen
(perilaku komunikasi). Menurut Grunig (1979), variabel persepsi situasional ini
memiliki empat sub-variabel , yaitu :
a.
Problem Recognition : mempresentasikan sejauh mana
seseorang mengenal atau menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang atau ada
sesuatu yang salah (terjadi masalah) dalam situasi tertentu.
b.
Constraint Recognition : mempresentasikan sejauh mana
seseorang memersepsi pembatasan (gangguan) dalam situasi yang membatasi
kebebasannya untuk mengkonstruksi perilakunya.
c.
Level of Involvement : mempresentasikan sejauh mana
sesorang mengaitkan dirinya dengan obyek didalam situasi.
d.
Referent Criterion : mempresentasikan sikap yang telah
dimiliki seseorang (the old attitude) yang menjadi dasar seseorang bertindak
dalam suatu situasi.
2.
Variabel Dependen : Perilaku Komunikasi
Teori STP
mendefinisikan perilaku komunikasi sebagai “bagaimana anggota publik memersepsi
situasi dimana mereka dipengaruhi oleh konsekuensi organisasi” (Grunig &
Hunt, 1984 : 148). Variabel perilaku komunikasi memiliki sub variabel, yaitu : pencarian
informasi (information seeking) dan pemrosesan informasi (information
processing).
Teori
Situational Theory of The Public dalam Praktik dan Penelitian Public Relations
Teori ini
menjadi dasar bagi praktisi PR untuk dapat mengidentifikasi dan mengantisipasi,
apakah individu mempunyai motivasi dan kemampuan untuk menjaga kepentingan atau
ketertarikannya sebagai anggota publik dari organisasi. Teori ini dapat
mendorong aplikasi model komunikasi dua arah yang simetrik dalam praktik PR.
Selain itu, melalui teori ini juga praktisi PR dapat menjelaskan mengapa ada
publik yang bersifat aktif terhadap satu isu, publik yang lain bersifat aktif
terhadap beberapa isu, dan ada yang bersifat tidak mau tahu. Seorang praktisi
PR dapat merencanakan strategi komunikasinya lebih akurat dan efektif jika
mengetahui seberapa aktif publik dalam mencari informasi (Lattimore, dkk.,
2007). Teori STP ini dapat dijadikan acuan bagi praktisi public relaions untuk
bersikap lebih etis dalam kampanyenya. Public relations mesti menyadari bahwa
pengelompokkan publik ke dalam perilaku komunikasi tertentu seperti yang
dijelaskan teori STP ini, sangat dipengaruhi oleh faktor faktor tingkat
pendidikan, pengetahuan, dan isolasi sosial (Grunig, 1979).
I. Teori Strukturasi
Teori ini digagas oleh Anthony
Giddens pada 1984 (Falkheimer, 2007) dan dibangun berdasarkan teori interaksi
sosial. Giddens membangun teori ini berdasarkan pandangannya bahwa individu
mempunyai kemampuan mengubah struktur sosial. Menurut giddens, individu bebas
dalam memilih perilaku komunikasinya sehingga memengaruhi terciptanya struktur
tertentu. Prosses memproduksi dan mereproduksi struktur disebut strukturasi.
Dengan demikian komunikasi dalam suatu sistem sosial merupakan hasil produksi
perilaku komunikasi individu dan struktur sosial perilaku sosial. Komunikasi
dalam suatu sistem sosial juga terbentuk dari hasil perpaduan perilaku
komunikasi individu dan struktur sosial. Perilaku sosial termasuk perilaku
komunikasi sosial, terbangun dari hasil strukturasi, yaitu proses memproduks
dan mereproduksi struktur yang dilakukan melalui interaksi sosial.
Dalam perkembangannya, teori
strukturasi diadopsi oleh Marshall Scott Poole and Robert McPhee untuk
menerangkan proses komunikasi organisasi. Menurut Poole &McPhee (2005),
organisasi memiliki struktur tertentu dan karenanya struktur di dalam
organisasi merupakan ciri khas suatu organisasi. Meskipun sama-sama mengkaji
organisasi, teori strukturasi dan teori sistem memiliki definisi berbeda
tentang sistem. Menurut teori struturasi, “suatu sistem bukanlah berarti sistem
dari objek (seperti bagian-bagian mesin mobil), melainkan sistem di sini
berarti sistem dari “human practice”,
yaitu pola aktivitas yang mempunyai makna bagi orang-orang yang ada di dalamnya
yang mengorganisasi aktivitas orang-orang itu dalam menjalin relasi satu dengan
lainnya” (Poole & McPhee, 2005 : 174 dalam Kriyanto, 2014 : 235).
Perbadaan teori sistem dan
strukturasi dalam bidang public relations,
teori ini dapat berada di tengah-tengah dua teori besar lainnya. Pertama, teori
instrumental agency-oriented yang tidak mengakui adanya kekuatan struktur;
kedua, teori kritis yang hanya memandah public
relations sebagai strategi tersembunyi yang digunakan elite untuk
mendominasi ruang public (Falkheimer, 2007 : 288 dalam Kriyantono, 2014 : 236).
Funsgsi struktur bagi suatu
organisasi (Daiton & Zelley, 2015 : 182 dalam Kriyantono, 2014 : 236)
-
Struktur menyediakan berbagai sarana
koordinasi dan kontrol.
-
Struktur membantu anggota organisasi
mendefinisikan identitas mereka di dalam organisasi.
-
Struktur menyediakan sarana untuk
memonitor prestasi kerja.
-
Struktur membantu organisasi berhubungan
dengan lingkungannya.
Asumsi
Teori Strukturasi
Berdasarkan pendapat Giddens
(1979), terdapat beberapa asumsi pokok teori strukturasi :
1. Manusia
adalah actor (agen) yang menentukan pilihan sendiri atas perilakunya. Menurut
Poole & McPhee (2005), manusia sebagai agency
ini mempunyai tiga karakteristik, yaitu :
(i) Mempunyai
kemampuan memaknai lingkungan kerjanya kondusif atau penuh konflik.
(ii) Mempunyai
pengetahuan yang berasal dari pengalaman hidupnya
(iii) Manusia
mempunyai kemampuan melakukan refleksi diri
2. Organisasi
diproduksi dan direproduksi melalui struktur- yaitu penggunaan aturan dan
sumber daya dalam interaksi sosial.
3. Struktur
bukanlah entitas fisik, melainkan merupakan seperangkat peraturan dan sumber
daya yang digunakan organisasi untuk mencapai tujuannya. Sumber daya merujuk
pada berbagai property atau peralatan
yang digunakan anggota organisasi untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Ada dua
jenis sumber daya, yaitu :
(i) Authoritative: karakteristik
interpersonal dari anggota organisasi, seperti kohesi sosial, pengalaman,
status sosial yang digunakan selama interaksi.
(ii) Alloctive (material-material
yang membantu pekerjaan, seperti waktu, uang, computer, mesin fotokopi, kertas,
dan mesin print).
4. Struktur
bersifat dinamis, mengalami proses pembentukan kembali.
5. Struktur
sering dipinjam dari kelompok yang lebih besar
6. Teori
strukturasi mengasumsikan bahwa semua interaksi sosial memuat tiga elemen :
pemaknaan, moralitas, dan kekuasaan.
7. Komunikasi
berperan sebagai media interaksi dan juga merupakan hasil interaksi.
Dualitas
Struktur
Teori ini berpendapat bahwa melalui
proses strukturasi, indivisu bebas dalam memilih perilaku komunikasinya (agency) sehingga tercipta struktur tertentu. Struktur
ini sangat dipengaruhi pengalaman perilaku atau harapan-harapan sebelumnya.
Tetapi di sisi lain, setelah direproduksi menjado lebih formal, struktur itu
aka menjadi pemandu perilaku individu. Sebagai panduan, pada dasarnya juga
berfungsi membatasi perilaku individu. . Kondisi ini disebut a
double-edged sword. Struktur diciptakan oleh dan mengikat perilaku invidu
Situasi ini disebut sebagai dualitas struktur (duality of structure). Artinya, struktur mengandung dua sisi yang
kontradiktif.
struktur
organisasi dibuat oleh anggota organisasi dan ditempatkan serta diubah sesuai
konteks ruang dan waktu. “Struktur organisasi adalah media bagi agency sekaligus hasil dari interaksi agency” (Falkheimer, 2007 : 288 dalam
Kriyanton, 2014 : 240). Peran praktisi public
relations yaitu menjadi mediator menghubungkan antara struktur di satu sisi
dan agency di sisi lainnya, sehingga
dualitas struktur bisa berjalan harmoni.
Teori
Strukturasi dalam Praktik Public
relations
Berdasarkan
teori ini, proses public relations
sebagai suatu proses komnukasi yang dinamis dimaknai bukan hanya dilakukan oleh
praktisi public relations, melainkan
oleh semua anggota organisasi. Artinya bahwa proses public relations dipandang sebagai proses yang mendukung semua
level di dalam organisasi bukan fungsi top manajemen yang terisolasi.
Peran
praktisi public relations yaitu
mengkomodasi dan mengarahkan proses strukturasi agar tidak melenceng dari
tujuan organisasi. Teori strukturasi memandang praktisi public relations sebagai kekuatan komunikasi yang melayani
terjadinya reproduksi dan/atau transformasi suatu ideology dominan dari suatu
organisasi. Jadi, public relations
bukan hanya bertugas mengadaptasikan ideology itu kepada publiknya (Falkheimer,
2007).
J.
TEORI
MOTIVASI DAN GAYA MANAJERIAL
Teori Hierarki
Kebutuhan
Teori yang dikemukakan
oleh Abraham Maslow menyebutkan beberapa tingkatan kebutuhan yang harus
dipenuhi agar seseorang merasa terpuaskan (Kriyantono, 2014: 243).

Teori X dan Y
Asumsi pada teori X bahwa setiap
individu pada hakekatnya tidak menyukai bekerja, tidak memiliki kemauan, hanya
membutuhkan motivasi fisiologis dan rasa aman saja, serta harus diawasi secara
ketat dan sering dipaksa untuk mencapai tujuan organisasi. Sedangkan, asumsi
pada teori Y bahwa setiap individu pada hakekatnya memiliki keinginan dan
kebutuhan yakni keinginan untuk bekerja,
kebutuhan psikologi, keselamatan dan keamanan, kebutuhan sosial (untuk
berkumpul dan berteman) serta kebutuhan yang bersifat individual (harga diri,
kebutuhan akan prestasi, status sosial) menurut Quaal & Brown (dalam
Kriyantono, 2014: 245).
Teori V
Quaal
& Brown (dalam Kriyantono, 2014: 246) menjelaskan bahwa proses manajemen
merupakan hubungan antarpersonal yang mengandung makna ada interelasi yang
dinamis dari orang-orang yang terlibat dalam proses pemberian dan
pengaktualisasian perintah dan arahan.
V = (M à
D) (a à
m)
Artinya, proses manajemen yang dinamis
(V) yaitu suatu fungsi manajemen sebagai subyek (M) mengarahkan (D) karyawan
(manage) sebagai objek (m) untuk mengaktualisasiikan (a) maksud dari manajer
tadi.
Teori
Kesehatan-Motivator
Dikemukakan oleh Frederick Herzberg pada
1959.Pada teori ini, terdapat dua factor kepuasan dan ketidakpuasan kerja,
yaitu motivator (penghargaan, tanggung jawab, kemajuan pekerjaan, prestasi
kerja, peluang pengembangan diri, dsb) dan pemeliharaan atau kesehatan (gaji,
supervisi, keamanan kerja, kondisi lingkungan kerja, administrasi, hubungan
dengan rekan kerja, dsb).
Empat
Gaya Manajerial dari Likert
Teori ini digagas oleh Rensis Likert
pada 1967. Teori ini menjelaskan empat gaya atau sistem manajerial yang
berdasarkan pada suatu analisis atas beberapa variable manajerial, yaitu
motivasi, komunikasi, interaksi, pengambilan keputusan, pengawasan, level
tanggung jawab, dan kinerja (Dainton & Zelley, 2005; Pace & Faules,
2001 dalam Kriyantono, 2014: 247).
Aplikasi
Teori Motivasi dalam Praktik Public
relations
Sangat
penting bagi praktisi public relations
untuk memahami motivasi karyawan. Maka, tugas public relations antara lain (Kriyantono, 2014: 250-251):
1. memahami
apakah kebutuhan itu telah terpenuhi atau belum dan juga kendala dalam memenuhi
kebutuhan tersebut.Public relations
dapat menggunakan saluran informal yakni managing by walking around (komunikasi
antarpersonal dengan secara berkala mengajak ngobrol karyawan dan mengunjungi
karyawan didepartemennya masing-masing).
2. public relations
menyampaikan kebutuhan karyawan itu kepada manajemen karena public relations dapat berfungsi sebagai
konsultan (expert prescriber), yang bertugas memberikan ide-ide dan
masukan-masukan kepada manajemen tentang cara meningkatkan motivasi karyawan.
3. merancang
program komunikasi yang bisa mendorong peningkatan motivasi kerja karyawan.
Misalnya melakukan program diskusi bulanan atau social meeting antara manajemen dan karyawan
4. mendorong
iklim komunikasi organisasi yang kondusif. Public
relations, misalnya, mendorong manajemen untuk menerapkan pendekatan public relations sebagai teknik
komunikasi (bukan sekedar metode komunikasi) dengan cara melakukan kunjungan
kepada karyawan menurut Mary Parker Follet (dalam Kriyantono, 2014: 251).
Daftar Pustaka
Kriyantono, R. (2014). Teori public relations perspektif barat dan
lokal: Aplikasi penelitian & praktik. Jakarta: Prenada Media
Komentar
Posting Komentar